Moh. Arif.
Hari
raya idul fitri di tengah-tengan masyarakat muslim selalu menjadi tradisi yang
ditunggu-tungu, karena momentum tersebut merupakan hari dimana umat Islam
memperoleh kemenangan yang luar biasa. Hari raya di masa pandemi bagaikan
belenggu untuk mearayakan kegembiraan, bersilaturrahim, saling memaafkan,
karena adanya larangan untuk berkumpul dan berkujung yang nantinya dapat
menjadi klaster penyebaran virus, tapi apala daya semua tidak bisa dicapai. Ini
penting untuk selalu kita ingat bahwa lebaran tidak lagi rindukan namun tetap
sebagai umat Islam harus mentradisikan silaturrahim kepada keluarga teman dan
kerabat agar keberkahan selalu melimpah dan dijadikan lebaran yang akan datang
terasa. Simak dan baca tulisan selanjutnya tentang makna lebaran yang tak
dirindukan ditengan kovid 19.
Covid 19 ditengah-tengah kita tak kunjung redah dan belum
ada tanda-tanda menurun, bahkan trendnya terus meningkat. Upaya pemerintah
terus melakukan himbauan, tindakan, dan pelarangan untuk tidak melakukan
aktivitas yang menimbulkan kerumunan massa agar penyebaran virus bisa
terkendalikan.
Disaat penyebaran Covid 19 terus meningkat umat Islam harus merayakan
hari raya idul fitri (lebaran) setelah menjalankan ibadah puasa selama 1 (satu)
bulan. Karena kita tahu bahwa hari raya (lebaran) sebagai tanda atau bukti
kemenangan umat Islam melawan syetan (hawa nafsu) selama berpuasa di bulan
ramadhan. Menjalankan puasa ramadhan merupakan kewajiban bagi seluruh umat
Islam. Puasa ramadhan biasanya dilakukan dengan berbagai kegiatan ibadah mulai
sholat tarawih berjamaah, buka bersama, pengajian menjelang berbuka, tadarus
bersama di mushollah dan masjid dan berkumpul bersama keluarga. Namun disaat
Covid 19 semua itu tidak dapat dilaksanakan dengan normal, bahkan tidak
dilaksanakan sama sekali dengan alasan dikhawatirkan adanya penyebaran Covid
19.
Hari raya idul fitri seyogyanya sebagai manifestasi dari
kegembiraan atas keberhasilan umat Islam setelah mampu melawan hawa nafsu
selama bulan ramadhan, euforia tersebut ditandai dengan pembacaan kalimat
takbir, tahmid dan tahlil diberagai masjid, mushollah dan tempat-tempat lain.
Selanjutnya dilakukan sholat sunnah berjamaah dan bersilaturrahim ke sanak
keluaraga, famili serta kerabat. Kegiatan ini sudah menjadi rutinitas ritual
keagamaan umat Islam setiap tahunnya. Pada saat pandemik covid 19 semua yang
berkaitan dengan hari raya idul fitri (lebaran) dibatasi atau bahkan
ditiadakan, adanya pelarangan pemerintah untuk mudik, dan bahkan akses masuk ke
kampung-kampung yang biasa dilalui orang saat berkunjung ketetanggan saudara
ditutup (portal) biarpun itu dalam suatu wilayah (desa/dusun).
Kegiatan ibadah (sholat ied), silaturrahim, reuni, dan halal
bihalan yang biasa dilakukan ditahun sebelumnya, pada saat ini tidak bisa
dilakukan secara langsung namun hanya bisa dilakukan secara virtual melalui
aplikasi zoom, chat, whatsApp dan lain sebagainya. Esensi hari raya terjadi
pergeseran dan perubahan yang tak normal. Berkaitan dengan ibadah dan
silaturrahim pada saat lebaran menurut Imam Besar Masjid Istqlal, KH. Nazarudin
Umar, pada cara refleksi ramadhan dan menyambut lebaran 1441 H mengatakan bahwa
pada dasarnya ukuran pahala ibadah sesorang apakah di dalam bulan ramadhan atau
di luar ramadhan atau saat melaksanakan lebaran serta silaturrahim harus
dimaknai sebagai metaforik yaitu kesejuan hati, keheningan hati,
keikhlasan, penuh kasih sayang dan kerinduan kepada Allah SWT. tanpa melihat
dimana, kapan dan bersama atau sendiri. Jadi ibadah atau silatrrahim tidak
dimaknai secara simbolik belaka yang tergantung pada waktu dan tempat, terutama
di saat terjadi pandemi Covid 19 saat ini.
Hari raya idul fitri tidaklah seperti tahun-tahun
sebelumnya, saat ini umat Islam hanya merayakan dari rumah bersama keluarga
kecilnya. Hal ini bukan sesuatu yang diharapkan bahkan dirindukan. Hari raya
idul fitri (lebaran) yang biasa dilakukan berkumpul bersama keluarga besar,
anjang sini-sana, ketemu tentangga, teman dan bersalam-salaman. Semua itu tidak
bisa dilakukan lantaran dikhawatirkan terjadi penyebaran Covid 19. Bahkan
pikiran dan sikap saya serba tidak enak ketika bertemu tetangga tidak berjabat
tangan baik saat berpapasan dan saat lewat di depan rumahnya tidak bertamu.
Namun kami menyadari dan merasa tidak ada beban untuk bersilaturrahim, karena
dihari pertama lebaran rumah-rumah tetanga semua pada tutup pintu, area masuk
perkampungan di portal dan penjagaan oleh warga disetiap gang masuk
perkampungan. Hal ini bertanda bahwa tidak diperbolehkan berkunjung dan
bersilaturrahim, ini sesuatu yang tidak diharapkan disaat yang bersamaan saya
dan seluruh umat Islam harus merayakan lebaran yang identik dengan kegiatan
silaturrahim.
Di samping itu, sebagai sebuah ritual keagamaan setiap tahun
umat Islam melakukan sholat ied berjamaah, berkumpul bersama keluarga,
silaturrhim ke saudara, tetangga, teman dan kerabat untuk saling maaf memaafkan
satu sama lain. Namun pada saat ini tentu sangat berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya karena pada tahun ini perayaan idul fitri hanya bisa dilakukan di
rumah masing-masing termasuk kegiatan sholat ied berjamaah, silaturrahim tidak
lagi dilakukan dengan berkunjung sana-sini, salam-salaman dan semua harus
dilakukan via online yang hanya terbatas pada keluarga inti saja dan
teman-teman dekat.
Kondisi di atas, memang tidaklah terjadi diseluruh plosok
desa, akan tetapi hanya terjadi dibeberapa wilayah saja, namun adanya
pembatasan tersebut justru esensi lebaran tidak lagi dirasakan sepenuhnya oleh
sebagian umat Islam. Lebaran sebagai tardisi keagamaan umat Islam tidak bisa lagi dilaksanakan secara normal dan bahkan
tidak bisa dilakukan sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya. Tentu hal ini
membuat lebaran tidak begitu diharapkan bahkan lebih mementingkan menjaga diri
dari penyebaran Covid 19 sehingga banya umat Islam berlebaran di rumah bersama
keluarga kecilnya, makan, ngobrol dan bercanda ria bersama
Kondisi saat ini dimana umat Islam herus
merayakan hari raya idul fitri 1 syawal 1441 H dengan gembira dan saling
memaafkan, maka perayaan hari raya idul fitri saat ini sudah terjadi pergeseran
makna atau cara yang di dalamnya dimaknai sebagai hari dimana umat Islam dapat
melakukan kegiatan silaturrahim terhadap saudara, keluarga teman dan sanak
famili lain sebagainya secara langsung. Namun pada hari raya idul fitri
sekarang ini tidak lagi bisa dilakukan secara langsung akan tetapi dilakukan
secara online sehingga upaya bertatap muka dan melepaskan kerinduan dengan
keluarga tidak lagi digapainya. Sekalipun kegiatan ini tidaklah membuat kendala
bagi umat Islam untuk terus menjalin silaturrahim dengan sanak family, teman
dan kolega. Namun demikian, hal ini bukanlah perayaan yang diharapkan bahkan
dirindukan oleh sebagian umat Islam. Sekalipun semua ini kita jadikan
pembelajaran dan hikmah agar kita tetap bersabar dan berikhtiyar untuk menjadi
hamba-hambah yang berkualitas iman, taqwa dan ipteknya.
Lebaran yang seyogyanya dirindukan oleh umat Islam, maka
lebaran tahun ini tidak lagi dirindukan bahkan lebih menjaga terjadinya
penyebaran Covid 19 yang sudah menjadi pandemi di negara Indonesia bahkan
Dunia. Lebaran yang dilakukan dengan meriah dan gembira baik di perkotaan atau
diperkampungan khususnya tidak lagi tampak lalu lalang warga dan kegembiraan
disaat Covid 19. Bahkan saya rasakan sendiri, saat melintas hanya menyapa saja,
hal ini sangat aneh dan sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya dimana pada
saat bersalipan atau lewat di depan rumah warga yang ada hanya menyapa biasa.
Namun sepertinya semua warga atau masyarakat menyadari hal ini dan pemaknaannya
tentu berbeda dengan hari-hari di luar lebaran.
Setidaknya ada beberapa indikator bahwa lebaran tidaklah
dirindukan pada saat pandemi Covid 19 yaitu pertama: adanya pembatasan
atau larangan mudik lebaran, tidak seperti tahun sebelumnya dimana masyarakat
berbondong-bong memadati stasiun, terminal dan bandara bahkan pemerintah
menyediakan armada mudik lebaran, meraka yang berada di perkotaan
berlomba-lomba pulang kampung untuk melaksanakan lebaran di desa. Tradisi mudik
menjadi tradisi yang dirindukan disaat menjelang lebaran. Namun pada saat ini,
semua sirnah dan tidak bisa dilakukan lantaran pandemi Covid 19. Pemerintah
melarang mudik karena adanya penyebaran Covid 19. Kerinduan akan lebaran tidak
lagi dirasakan seperti tahun sebelumnya karena tidak bisa mudik dan berkumpul
dengan keluarga di kampung halaman. Penjagaan petugas perbatasan diperkatat
dengan berbagai cara untuk menghalangi masyarakat yang akan mudik.
Kebijakan ini tentunya diambil demi memutus mata rantai penularan Covid-19.
Kedua,
kerinduan akan jajan khas di kampung. Pada lebaran tahun ini semua tidak dapat
dicapai dan nikmati lantaran tidak bisa pulang kampun untuk sekedar menikmati
jajanan khas kampung saat lebaran. Hal ini membuat lebaran tahun ini tidak
memberikan esensi akan makna yang menjadi tradisi sebagaimana tahun-tahun
sebelumnya. Sekalipun hal ini tidak bisa menjadi ukuran akan makna lebaran dari
segi spiritualitas, akan tetapi dapat mengurangi makna tradisi yang selalu
dirindukan oleh masyarakat muslim saat lebaran. Di sisi lain, kegiatan ini
termasuk salah satu yang paling dirindukan masyarakat saat lebaran. Namun, di
tengah pandemi seperti ini, tradisi ini agaknya sulit dilakukan secara langsung
lantara dtidak bisa pulang kampung.
Ketiga,
tak kalah seruhnya yang selalu menjadi kegembiraan dan kerinduan umat Islam
adalah kegiatan takbir keliling. Kegitan ini biasanya dilakukan oleh
masyarakat, pelajar dan para pemuda di desa-desa dan perkotaan saat menjelang
hari raya idul fitri sebagai tanda menyambut hari raya (lebaran), mereka
berkeliling baik dengan cara jalan kaki atau pun naik mobil bak terbuka.
Sembari memukul bedug dan bertakbir. Namun pada saat ini, suasana tersebut
tidak lagi terdengar diperkempungan dan membuat kerinduan masyarakat akan hari
raya idul fitri tidak lagi dirasakan lantaran pemerintah mengeluarkan kebijakan
adanya larangan untuk berkerumun sebagai upaya mencegah penyebaran covud 19
salah satunya adanya kegiatan takbir keliling yang biasa dilakukan secara
berjamaah dan berkerumun.
Keempat,
halal bi halal (silaturrahim). Tradidisi ini, juga sangat kental dan melekat
dikalangan umat Islam pasca lebaran. Halal bi halal merupakan acara silaturahmi
dengan kegiatan saling meminta maaf baik dengan keluarga besar, teman sekolah,
ataupun tetangga satu kampung yang selalu menjadi kerinduan umat islam.
Kegiatan tersebut biasanya dilakukan pada saat lebaran. Momentum halal bi halal
selalu dimanfaatkan untuk ajang silaturrahim, betemu keluarga, reuni sekolah
atau teman-teman yang jarang bertemu sebelumnya. Namun pada saat ini, semua
tidak lagi bisa dilakukan, kerinduan akan lebaran yang identik dengan kegiatan
halal bi halal tidak lagi darasakan oleh semua kalangan umat Islam. Hal ini
lantara adanya larangan untuk melakukan kegiatan berkumpul dalam jumlah orang
banyak termasuk kegiatan halal-bi halal yang identik dengan perkumpulan orang
banyak yang didalamnya diadakan saling kangen dan lain sehingga dikhawatirkan
terjadi penyebaran Covid 19.
Pandemi Covid 19 membuat lebaran tahun ini tidak lagi
dirindunkan oleh sebagian umat Islam lantara tidak dapat memenuhi atau
menjalankan tradisi yang biasa dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya
sebagaimana di uaraikan di atas. Semua ini tidak bisa dilakukan lantaran masih
terjadi penyebaran Covid 19, sebagian umat Islam lebih fokus untuk mencegah
penyebaran Covid 19 dari pada harus pulang kampung (mudik), menikmati jajanan
khas kampung, takbir keliling dan kegiatan halal bi halal sebagai tradisi pada
saat lebaran. Semua itu hanya kenangan yang hanya dapat dirasakan tetapi tidak
dapat dilakukan, Kerinduan akan hari raya tidak lagi bisa dinikamati dan
dirayakan sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya.
Semoga pandemi Covid 19 ini bisa dilalui dan segera berakhir
agar kita dapat beraktivitas kembali dengan normal dan pada tahun yang akan
datang kita bisa menikmati dan merayakan hari raya idul fitri yang kita
rindungan dan meriahkan tidak terjadi seperti tahun ini. Namun kita tetap
semangat dan gembira sekalipun masih dirundung kesedihan akibat adanya pandemi
Covid 19 serta selalu diberi kekuatan untuk menhadapinya dan dilindungi oleh
Allah SWT. Aamiin